Tulisan Anggito Abimanyu yg agak panjang ttg Bang Harry AA. Semoga bermanfaat..
Harry, Debat dan Komunitas Epistemis
oleh
Anggito Abimanyu
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB)
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
Suatu hari ini bulan Juni tahun 2009, waktu sudah menunjukkan pukul 23:00 malam, suasana pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) justru semakin panas dan tegang. Ketua Pansus RUU PDRD dari DPR RI waktu itu, Harry Azhar Azis PhD, bersuara keras agar Panitia Kerja (Panja) Pemerintah menyepakati tambahan tarif pajak rokok dibagihasilkan ke daerah. Saya dan rekan-rekan Pemerintah masih sulit menyetujui, karena secara prinsip dan metodologis masih belum ketemu.
Sontak Harry menggebrak meja.
Braakk!
“Anda semua ini tidak peduli pada kesejahteraan daerah! Sangat sentralistis,” ujarnya.
Saya tidak tinggal diam.
Braakk!
Meja di depan saya juga saya gebrak.
”Saya tersinggung dikatakan tidak pro daerah, Pak Harry. Maaf, Pak Ketua, pajak rokok sulit dibagihasilkan. Kami butuh waktu merumuskan,” ucap saya.
Para ekonom dan lulusan luar negeri saling gebrak meja? Bukan tontonan biasa, sekalipun tidak ada lagi wartawan berkerumun. Jurnalis-jurnalis itu sudah kembali ke kantor masing-masing, menulis berita.
Harry berdiam. Sambil terus merokok, beliau mulai melunak.
“Mas Anggito, saya ini perokok berat, tetapi tidak masalah membayar pajak rokok dua kali lebih tinggi. Asal pendapatannya dibagikan ke daerah,” ucapnya.
Seketika para peserta rapat Panja yang semula tegang, langsung berubah riuh, tertawa.
Suasana lebih cair lagi. Dikatakan Harry, betapa pihak yang memproleh keuntungan dari kenaikan tarif rokok adalah daerah penghasil.
“Daerah pemilihan saya adalah Propinsi Kepulauan Riau, sama sekali tidak menghasilkan rokok. Kebijakan ini semata-mata untuk menambah penerimaan bagi daerah guna meningkatkan kesejahteraan rakyat,” tegasnya lagi.
“Soal metodologi basis pajak rokok dan skema pembagiannya, bisa kita bicarakan,” tutupnya.
Sebagai Ketua Panja RUU PDRD dari Pemerintah, saya berargumentasi bahwa ciri PDRD adalah pajak yang immobile atau subyek/obyek pajaknya tidak berpindah seperti tanah, bangunan, air dan property. Jadi konsumsi rokok tidak dikategorikan sebagai PDRD, mengingat masuk kategori benda bergerak.
Perdebatan demi perdebatan lain terjadi, kadang keras kadang melunak. Tentu bukan dalam satu kesempatan itu saja, melainkan juga dalam kesempatan yang lain. Akhirnya, atas dasar perdebatan-perdebatan itu, disepakati bahwa penetapan pajak rokok dibagihasilkan ke daerah berdasarkan lokasi daerah penghasil dan penggunaannya hanya untuk sektor kesehatan. Waktu pelaksanaannya adalah 3 tahun setelah UU disahkan, agar daerah-daerah penghasil memiliki kesiapan. Baik argumen Harry atau saya, masuk ke dalam rumusan UU PDRD itu. Saya tidak tahu, sudah berapa banyak UU disusun oleh para ekonom, dengan kesepakatan sesama ekonom seperti kami.
Harry bukan orang baru bagi saya. Sifat dan watak Harry yang keras, argumentatif dan emosional sudah saya kenal sejak ia berkiprah di DPR pada tahun 2004. Jadi, lima tahun sebelum pembahasan RUU tersebut, kami yang bekerja di eksekutif tidak lagi heran dan memahami dengan baik. Tapi Harry tentu juga tahu, siapa saja nama-nama ekonom di Pemerintahan yang sama kerasnya dengannya. Mudah-mudahan saya ada dalam daftar yang sedikit itu.
~~~
Sejatinya, Harry sungguh rasional, logis, akrab dan profesional. Beliaulah yang berkampanye agar daerah disiplin dalam memungut PDRD.
“Pemerintahan Daerah (Pemda) tidak boleh memungut pajak dan retribusi selain yang sudah diatur oleh UU. Daerah tidak boleh mengganggu investasi," terang Harry di gedung DPR, Senayan, pada hari Selasa (18/8/2011). Berbagai pernyataannya bisa saya baca di media massa, baik online ataupun cetak. Sebagai ekonom kampus yang juga bekerja di Pemerintahan, saya tentu menyimak pernyataan-pernyataan itu.
Perdebatan serius dengan Harry bukan hanya masalah pajak rokok. Selama kepemimpinannya di Komisi XI, Panitia Anggaran (Panggar) DPR -- kemudian berubah menjadi Badan Anggaran (Banggar) DPR --, dapat ditebak betapa tiada hari tanpa perdebatan. Perdebatan teknis, ekonomis hingga ideologis menyangkut banyak sektor, seperti asumsi makro ekonomi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), penerimaan Minyak dan Gas (Migas), penerimaan pajak, subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), listrik, alokasi anggaran daerah, hingga pembiayaan utang luar negeri. Ia selalu tajam dan keras.
Saking seriusnya, saya mencatat beberapa kali Harry keliru menerjemahkan istilah dalam teori ekonomi. Sebagai contoh, suatu kali Harry menyampaikan bahwa inflasi harus lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi atau secara riil tumbuh positif untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Entah darimana belajar, atau sudah terlanjur dikenal sebagai politisi ulung di kalangan ekonom, Harry sangat piawai membangun argumentasi dari yang salah menjadi “benar”. Ketika dipertanyakan pernyataan yang keliru tersebut, beliau pandai berkelit.
“Maksud saya adalah target pertumbuhan ekonomi harus meningkat dan didukung dengan inflasi yang menurun, sehingga daya beli rumah tangga tidak terbebani untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,” ucapnya.
“Setuju, Pak Ketua,”ucap saya, tak lagi menanggapi, meniru koor yang sering kita dengar dari sidang-sidang di legislatif.
Harry adalah legislator pionir yang menggulirkan ide untuk mengaitkan antara target makro ekonomi dengan kesejahteraan rakyat. Sejak pembahasan APBN tahun 2010, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) diwajibkan Harry untuk dapat mengaitkan target pertumbuhan ekonomi dengan kesejahteraan rakyat, yakni penurunan kemiskinan dan pengangguran. Bahkan sejak itu, indikator kesejahteraan rakyat menjadi bagian dari asumsi makro dalam dokumen UU APBN. Sebagai salah seorang Ketua Kelas di DPR RI, hampir tak ada politisi lain yang membantahnya dengan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, bahkan di luar partainya sendiri.
Perjuangan itulah yang ia teruskan sejak menjadi Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada akhir tahun 2014 dengan ide: Pemeriksaan BPK berbasis Kesejahteraan Rakyat. Meskipun secara konsep masih terus digodok, tetapi pemeriksaan kinerja berbasis kesejahteraan rakyat setidaknya dapat menjadi jawaban akan “paradoks” opini pemeriksaan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) di suatu Daerah atau Kementerian, akan tetapi pimpinannya tersangkut korupsi. Belum lagi kemiskinan sektoral atau daerah yang masih tinggi, termasuk Indeks Pembangunan Manusia, justru di daerah yang mendapatkan status WTP itu.
~~~
Harry merupakan salah satu anggota Panitia Khusus (Pansus) Bank Century yang sangat kritis dan keras. Bisa jadi ia adalah anggota Pansus bank Century yang paling keras dan kritis diantara para anggota yang ada. Barangkali julukan itu datang dari pemahaman kami sendiri, sebagai ekonom dan dalam bahasa ekonomi. Publik mengenal anggota Pansus Bank Century yang lain, tetapi bahasa yang muncul dari mereka sama sekali diluar masalah ekonomi dan perbankan. Harry sangat mengkritisi kontroversi kebijakan talangan atau bailout Bank Century dan masalah hukum dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 4 tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Pada waktu itu beliau berpendapat bail-out Century tetap bermasalah secara ekonomi-politik dan hukum.
Di luar itu, ia tak jarang menyampaikan solusi atas persoalan yang ada. Sejak tahun 2010, Harry telah menggulirkan ide mengenai Dana Aspirasi DPR. Pada tahun 2011, sebagai Ketua Banggar DPR, Harry membenarkan betapa ide itu telah menjadi usulan resmi Banggar DPR. Usulan itu akan dilaporkan dalam Rapat Paripurna DPR, untuk kemudian disampaikan kepada pemerintah.
”Saya yakin pemerintah akan amat arif untuk mempertimbangkan usulan itu,” kata Harry seusai memimpin rapat yang dihadiri Menteri Keuangan Agus Martowardojo dan Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution.
Dalam beberapa kesempatan, saya menyampaikan bahwa ide Dana Aspirasi itu tidak salah, tetapi perlu ditetapkan dengan formula dan metodologi yang benar dalam sebuah UU agar mudah dilaksanakan, transparan dan dapat diperiksa menurut kaidah-kaidah keuangan negara. Saya juga ikut melihat, mendengar dan merasakan tentang kesulitan yang dialami anggota-anggota DPR RI dalam menjalankan tugas-tugas mereka di daerah pemilihan masing-masing. Sementara, mereka hampir tak punya waktu untuk mengerjakan yang lain. Bahkan mereka juga dilarang menjalankan sejumlah profesi, sesuai dengan bunyi paket UU bidang politik.
Pada rapat Banggar DPR dalam rangka pembicaraan pendahuluan penyusunan Rancangan APBN 2011, Selasa (15/6/2011), di Jakarta, usulan Dana Aspirasi itu ditetapkan menjadi usulan resmi. Namun, namanya diubah menjadi: ”Program Percepatan dan Pemerataan Pembangunan Daerah melalui Kebijakan Pembangunan Kewilayahan yang Berbasis kepada Daerah Pemilihan”. Dana itu terdapat dalam catatan laporan Panitia Kerja (Panja) Kebijakan Belanja Pemerintah Pusat Badan Anggaran DPR. Usulan tersebut gugur di tingkat Rapat Paripurna, akibat penolakan yang kuat dari aktivis-aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), mahasiswa dan pers. Kabarnya, akibat kegagalan itu, berujung pada pencopotan Harry sebagai Ketua Banggar DPR. Ia digantikan oleh sejawatnya dari Fraksi Partai Golkar, Melchias Markus Mekeng (Malang Post, 12/6/2015).
Di lain waktu, saya yang bersilang pendapat dengan Harry. April 2011, saya pernah menjadi saksi ahli Mahkamah Konstitusi (MK) dalam soal sengketa DPR RI dan BPK RI dengan Pemerintah soal penggunaan dana Pusat Investasi Pemerintah (PIP) untuk membeli saham PT Newmont. Berbeda dengan sikap Harry yang tidak memperbolehkan penggunaan dana PIP untuk pembelian saham tersebut, kesaksian saya menyatakan bahwa dana PIP dapat digunakan untuk investasi, termasuk pembelian saham, selama dianggarkan dan direncanakan dalam APBN. Yang terpenting adalah mendapatkan persetujuan DPR. Jika akan dipakai untuk mendukung pembangunan daerah, APBN kemudian dapat menghibahkan kepemilikan PT Newmont kapada Pemda Nusa Tenggara Barat (NTB). Saya melihat skema kepemilikan melalui pengusaha swasta nasional justru menjadi risiko bagi kelangsungan hidup perusahaan itu. Selain itu, Pemda NTB tidak mendapatkan bagian apa-apa.
Skema yang saya tawarkan itu ditolak oleh Harry yang waktu itu adalah Wakil Ketua Komisi Keuangan DPR RI. Menurut Harry, sikap saya itu menunjukkan adanya ketidakpercayaan terhadap swasta nasional.
“Mengapa pemerintah tidak percaya swasta nasional tapi percaya terhadap swasta asing,” katanya.
Sayang, saya belum sempat berdebat dengan Harry lebih lanjut tentang masalah itu, namun yang jelas keputusan MK telah sesuai dengan kesaksian saya.
~~~
Tentu, tidak semua usulan Pemerintah dikritisi oleh Harry. Dalam penanggulangan krisis global tahun 2009, ia bersama pimpinan Panggar DPR waktu itu, seperti Suharso Monoarfa (Partai Persatuan Pembangunan) dan Emir Moeis (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) sangat mendukung pembahasan stimulus fiskal diselesaikan dalam 1x24 jam. Seminggu setelah selesainya pembahasan stimulus fiskal disepakati, pimpinan Panggar sudah menuntaskan dokumen persetujuannya, bahkan ikut mendorong percepatan dokumen di Kementerian/Lembaga (K/L). Secara terpisah, sebagai Wakil Ketua Panggar DPR, Harry mengatakan bahwa dokumen K/L untuk stimulus infrastruktur yang diajukan ke Panggar DPR sudah bisa tuntas dalam waktu yang cepat.
"Itu sudah harus tuntas. Pemerintah kan hanya sekadar mengajukan dan baru disusun belakangan. Seharusnya begitu selesai dibahas, diambil kesepakatan antara Panggar DPR dan Departemen Keuangan (Depkeu)," kata dia, tanpa ada perdebatan apapun.
Politisi biasa, barangkali hanya akan berbeda saja dengan Pemerintah. Sementara Harry, tidak. Ia menggunakan logikanya, pengetahuannya, serta pengalamannya dengan baik. Walau tak mudah dipatahkan, ia bukan berarti tanpa kompromi. Sebagai ekonom, saya merasa terwakili dengan sikap Harry itu. Kami dalam komunitas epistemis yang berkutat dengan teori-teori dan data-data ekonomi merasa tidak perlu menulis makalah lebih tebal atau berpidato lama-lama, akibat sudah cukup seorang Harry yang memperjuangkannya, bahkan tanpa kami minta.
Diluar itu, sikap paling mengesankan adalah diluar yang berbau ekonomi, legislatif dan eksekutif itu. Apalagi kalau bukan tentang pertemanan dan perdebatan kami berdua. Walau sudah bertemu berkali-kali, tidak satu kalipun Harry memperjuangkan kepentingan pribadi, termasuk untuk kepentingan suara di daerah pemilihan dan meminta hal-hal yang aneh-aneh. Pertemuan kami di berbagai kesempatan terfokus dan terbatas pada persoalan kebijakan ekonomi untuk memajukan kesejahteraan rakyat, mengurangi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi di atau antar daerah. Betul, pembelaan kepada basis perekonomian daerah ia usung hingga kini, tetapi daerah dalam artian wilayah. Ia tak menunjuk Kepulauan Riau, misalnya, dalam kata “daerah” yang ia perjuangkan itu.
Karena itu, ketika BPK dikabarkan mulai masuk ke wilayah pemeriksaan Perencanaan Anggaran yang memang area yang cukup rawan, saya melihatnya sebagai sikap korektif Harry atas situasi yang selama ini berjalan. Ia tampak tak ingin anggapan umum terus berlaku, betapa anggota-anggota legislatif yang bekerjasama dengan eksekutif dan pengusaha terus-menerus melakukan itu.
Sebagai Ketua BPK sejak tahun 2014, saya tidak melihat perubahan dari sisi sikap, ketegasan dan intelektualitasnya. Bedanya, selama di DPR, tugas Harry adalah lebih banyak mengkritisi kebijakan Pemerintah. Sekarang sebaliknya, tugasnya adalah memimpin ketangguhan pengawasan keuangan Lembaga Negara sekaliber BPK yang tidak jarang dikritik masyarakat. Ia sering menerima kritik mengenai BPK, bahkan juga ikut mengkritik BPK, pada saat menjadi anggota DPR. Sudah tiba waktunya bagi Harry menjawab kritikan masyarakat atas kinerja BPK. Irama kerja di BPK jelas berbeda dengan saat di DPR, yakni lebih teratur, terukur, dan terstruktur, bekerja secara penuh, tidak memiliki reses.
Saatnya Harry membuktikan kiprah berikutnya, yakni akan menjadikan BPK sebagai bagian dari peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia. Sebagai kolega intelektualnya, kami tentu masih tetap merasa terwakili oleh Harry, baik ketika ia menjadi anggota DPR, maupun sebagai Ketua BPK yang menjadi tempat menempa negarawan-negarawan tangguh dari berbagai latar belakang. Selamat bekerja.
Yogyakarta, 10 April 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar