Senin, 02 Mei 2016

MAFIA HUKUM.ITU ADA

Koran sindo
Edisi 30-04-2016

Mafia Hukum Itu Ada

Oleh Moh Mahfud MD

Meskipun dulu pernah dicibir sebagai gosip belaka, istilah mafia hukum tiba-tiba mencuat lagi setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Eddy Nasution karena (sangkaan) penyuapan.

Terlebih lagi operasi tangkap tangan (OTT) itu diikuti dengan pencekalan atas Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi untuk bepergian ke luar negeri. KPK pun menyita dokumen perkara dan uang yang terdiri atas berbagai pecahan uang asing senilai Rp1,7 miliar dari kantor dan rumah Nurhadi yang digeledahnya.

Istilah mafia hukum atau mafia peradilan pun hampir setiap hari muncul di berbagai media massa. Ada stasiun televisi yang pada pekan ini menjadikan isu mafia hukum sebagai berita utama sekaligus topik dialog sampai berkali-kali, mulai pagi sampai tengah malam dan sampai pagi lagi. Judulnya tak main-main.

Edisi Kamis, 28 April kemarin, misalnya, pada dialog prime time news dibuat judul ”Ada Mafia Hukum di MA?” dan ”Nurhadi Makelar Perkara di MA?”. Istilah mafia hukum merupakan persamaan dan perubahan dari istilah mafia peradilan di Indonesia yang dulu dinisbatkan pada proses paradilan yang sangat koruptif.

Istilah mafia peradilan dikenal luas sejak era Orde Baru meski pemerintah sendiri kerap kali mempersoalkan penggunaan istilahnya. Oetojo Oesman, misalnya, saat menjadi menteri kehakiman pada 1990-an mengkritik penggunaan istilah tersebut sebagai berlebihan. Menurutnya istilah itu tidak tepat karena kalau mafia sebagai organisasi bandit, ada pimpinan dan pengurusnya yang identitasnya jelas seperti mafia di Sicilia.

Mafioso peradilan di Indonesia tidak jelas identitas pemimpinnya sehingga menurut Oetojo dan kawan-kawan, hal itu hanyalah isu atau gosip yang berlebihan belaka. Tapi Artidjo Alkostar dalam pidato dies natalis tahun 1996 di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta memastikan bahwa mafia peradilan itu ada.

Artidjo yang saat itu masih menjadi dosen dan advokat mengatakan, siapa pun yang tidak percaya adanya mafia peradilan, coba saja beperkara atau mengurus perkara ke pengadilan. Di sana, kata Artidjo, Anda akan langsung tahu bahwa mafia peradilan itu ada, bukan gosip, tapi fakta.

Mafia peradilan adalah kanker ganas yang harus dibasmi. Pengalaman sebagai advokat yang sering dibuat naik pitam oleh mafia peradilan itulah yang, kiranya, mendasari sikap-sikap Artidjo ketika menjadi hakim agung sejak tahun 2000 sampai sekarang. Sikapnya sangat keras terhadap mafia hukum dan tak mau berkompromi terhadap pelaku korupsi.

Istilah jual beli dan pengaturan perkara di pengadilan yang dulunya terkenal sebagai mafia pengadilan itu secara resmi berubah menjadi istilah mafia hukum ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden Republik Indonesia (2004- 2009 dan 2009-2014). SBY-lah yang pertama kali menggunakan istilah mafia hukum yang sebelumnya disebut mafia peradilan.

Itu berarti pengakuan bahwa mafia hukum di pengadilan itu ada. Di dalam kampanye-kampanye pilpres, begitu juga di dalam pidato-pidato dan kebijakan kepresidenannya, SBY selalu menyebut mafia hukum secara resmi sebagai masalah besar bangsa kita.

Bahkan secara resmi pula SBY membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum yang dipimpin Kuntoro Mangkusubroto.
Satgas ini beranggotakan aktivis-aktivis anti korupsi seperti Denny Indrayana, Yunus Husein, dan Mas Achmad Santosa (Ota). Memperkuat pengakuan resmi oleh negara, adanya mafia hukum, faktanya, terbukti juga secara cetho welo-welo ketika Mahkamah Konstitusi (MK) di penghujung tahun 2009 membuka rekaman percakapan pengaturan perkara oleh Anggodo Widjojo.

Kasus yang sering disebut sebagai kriminalisasi terhadap Komisioner KPK Chandra Hamzah dan Bibit Samad itu membuktikan terjadinya pengaturan perkara oleh Anggodo melalui pembicaraan-pembicaraanyang bernada instruktif terhadap para penegak hukum.
Dalam kasus Anggodo itu terbukti jelas adanya pembicaraan pengaturan perkara antara Anggodo dengan pejabat tinggi kejaksaan agung, pejabat Polri, pejabat LPSK, pengacara, dan sebagainya.

Bukti mafia hukum yang terungkap dari rekaman hasil penyadapan oleh KPK yang disetel di MK itu kemudian menjungkalkan beberapa pejabat penting dan mengantar Anggodo dan yang lain ke penjara.

Kasus Gayus Tambunan tak kalah menghebohkan. Pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang masih sangat yunior itu telah melakukan kejahatan dengan mafia yang melibatkan polisi (Sumarni), jaksa (Cirus Sinaga), hakim (Ibrahim), pengacara (Haposan), dan lain-lain.

Kasus Gayus dan Anggodo adalah contoh yang cukup sempurna dalam mafia hukum sehingga istilah mafia hukum lebih mudah didefinisikan. Mafia hukum adalah pengaturan perkara secara curang yang melibatkan aparat penegak hukum dan calo-calo untuk membuat putusan pengadilan menjadi seperti yang diinginkan oleh penyuap.

Tentu saja kurang fair kalau saya membahas mafia hukum dengan hanya mengambil contoh dari kasuskasus di MA, Polri, kejaksaan, dan dunia advokat tanpa menyebut juga MK. Di MK pun sudah terbukti secara sah dan meyakinkan ada mafia hukum.

Penghukuman secara inkracht terhadap mantan Ketua MK yang melibatkan perantara Mochtar Ependi dan beberapa kepala daerah yang kemudian juga dihukum karena penyuapan adalah bukti nyata bahwa di MK pun ada mafia hukum. Jadi terlepas dari apa pun hasil penanganan KPK atas OTT terhadap Panitera PN Jakarta Pusat dan pencekalan serta penggeledahan di kantor dan rumah Sekretaris MA Nurhadi, terbukti atau tak terbukti, simpulannya, mafia hukum itu ada.

Problem utama bangsa kita ini sebenarnya bersumbu di mafia hukum. Kasus narkoba atau korupsi dan lain-lain yang dianggap sangat membahayakan itu sebenarnya bersumbu pada soal penegakan dan mafia hukum.

MOH MAHFUD MD
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN):
Ketua MK-RI 2008-2013

Sumber:
http://www.koran-sindo.com/news.php?r=0&n=3&date=2016-04-30
(Shared by Cakpen 2/5/16)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar