Senin, 07 Maret 2016

ILMU IKHLAS

Bismillaahir-Rahmaanir-Rahiim

Sharing Mutiara Hikmah

ILMU IKHLAS

Beberapa pakar sejarah Islam meriwayatkan sebuah kisah menarik.
Kisah Ahmad bin Miskin, seorang ulama abad ke-3 Hijriah dari kota Basrah, Irak. Beliau bercerita:

Aku pernah diuji dgn kemiskinan pd th 219 Hijriyah. Saat itu, aku sama skli tdk memiliki apapun, sementara aku hrs menafkahi seorg istri dan seorg anak. Lilitan hebat rasa lapar terbiasa mengiringi hari-2 kami.

Maka aku bertekad utk menjual rumah dan pindah ke tempat lain. Akupun berjalan mencari orang yg bersedia membeli rumahku.

Bertemulah aku dg sahabatku Abu Nashr dan kuceritakan kondisiku. Lantas, dia malah memberiku 2 lembar roti isi manisan dan berkata: "berikan makanan ini kpd  keluargamu."

Di tengah perjalanan pulang, aku berpapasan dg seorg wanita fakir bersama anaknya. Tatapannya jatuh di kedua lembar rotiku. Dg memelas dia memohon:

"Tuanku, anak yatim ini belum makan, tak kuasa terlalu lama menahan rasa lapar yang melilit. Tolong beri dia sesuatu yang bisa dia makan. Semoga Allah merahmati Tuan."

Sementara itu, si anak menatapku polos dg tatapan yg takkan kulupakan sepanjang hayat. Tatapan matanya menghanyutkan fikiranku dlm khayalan ukhrowi, se-olah2 surga turun ke bumi, menawarkan dirinya kpd siapapun yg ingin meminangnya, dg mahar mengenyangkan anak yatim miskin dan ibunya ini.

Tanpa ragu sedetikpun, kuserahkan semua yg ada ditanganku. "Ambillah, beri dia makan", kataku pd si ibu.

Demi Allah, pdhl waktu itu tak sepeserpun dinar atau dirham kumiliki. Sementara di rumah, klgku sangat membutuhkan makanan itu.

Spontan, si ibu tak kuasa membendung air mata dan si kecilpun tersenyum indah bak purnama.

Kutinggalkan mereka berdua dan kulanjutkan langkah gontaiku, sementara beban hidup terus bergelayutan dipikiranku.

Sejenak, kusandarkan tubuh ini di sebuah dinding, sambil terus memikirkan rencanaku menjual rumah.
Dlm posisi seperti itu, tiba2 Abu Nashr dg kegirangan  mendatangiku.

"Hei, Abu Muhammad! Kenapa kau duduk duduk di sini sementara limpahan harta sedang memenuhi rumahmu?", tanyanya.

"Subhanallah....!", jawabku kaget. "Dari mana datangnya?"

"Tadi ada pria datang dari Khurasan. Dia bertanya tanya ttg ayahmu atau siapapun yg punya hubungan kerabat dgnnya. Dia membawa ber-duyun2 angkutan barang penuh berisi harta", ujarnya.
"Terus?", tanyaku keheranan.
"Dia itu dahulu saudagar kaya di Bashroh ini. Kawan ayahmu. Dulu ayahmu pernah menitipkan kpdnya harta yg telah ia kumpulkan slm 30 thn. Lantas dia rugi besar dan bangkrut. Semua hartanya musnah, termasuk harta ayahmu.
Lalu dia lari meninggalkan kota ini menuju Khurasan. Di sana, kondisi ekonominya ber-angsur2 membaik. Bisnisnya melejit sukses. Kesulitan hidupnya per-lahan2 pergi, berganti dg limpahan kekayaan.
Lantas dia kembali ke kota ini, ingin meminta maaf dan memohon keikhlasan ayahmu atau klgnya atas kesalahannya yg lalu.

Maka sekarang, dia datang membawa seluruh harta hasil keuntungan niaganya yang telah dia kumpulkan selama 30 tahun berbisnis. Dia ingin berikan semuanya kepadamu, berharap ayahmu dan keluarganya berkenan memaafkannya."

Dg perubahan drastis nasib hidupnya ini, Ahmad bin Miskin melanjutkan ceritanya :

"Kalimat puji dan syukur kpd Allah berdesakan meluncur dari lisanku. Sbg bentuk syukuri. Segera kucari wanita faqir dan anaknya tadi. Aku menyantuni dan menanggung biaya hidup mrk seumur hidup.

Aku pun terjun di dunia bisnis seraya menyibukkan diri dg kegiatan sosial, sedekah, santunan dan berbagai bentuk amal salih. Adapun hartaku, terus bertambah melimpah ruah tanpa berkurang.

Tanpa sadar, aku merasa takjub dg amal salihku. Aku merasa, telah mengukir lembaran catatan malaikat dg hiasan amal kebaikan. Ada semacam harapan pasti dlm diri, bhw namaku mungkin telah tertulis di sisi Allah dalam daftar orang2 shalih.

Suatu malam, aku tidur dan bermimpi.
Aku lihat, diriku tengah berhadapan dg hari kiamat.
Aku juga lihat, manusia bagaikan ombak, bertumpuk dan berbenturan satu sama lain.

Aku juga lihat, badan mereka membesar. Dosa2 pd hari itu berwujud dan berupa, dan setiap orang memanggul dosa2 itu masing2 di punggungnya.

Bahkan aku melihat, ada seorang pendosa yg memanggul di punggungnya beban besar seukuran KOTA Basrah, isinya hanyalah dosa2 dan hal2 yg menghinakan.  

Kemudian, timbangan amal pun ditegakkan, dan tiba giliranku utk perhitungan amal. 

Seluruh amal burukku ditaruh di salah satu sisi timbangan, sedangkan amal baikku di sisi timbangan yg lain. Ternyata, amal burukku jauh lebih berat drpd amal baikku.!

Tapi ternyata, perhitungan belum selesai. Mrk mulai menaruh satu persatu berbagai jenis amal baik yg pernah kulakukan.

Namun alangkah ruginya aku. Ternyata dibalik semua amal itu terdapat NAFSU TERSEMBUNYI. Nafsu tersembunyi itu adalah riya, ingin dipuji, merasa bangga dg amal shalih. Semua itu membuat amalku tak berharga. Lebih buruk lagi, ternyata tdk ada satupun amalku yg lepas dari nafsu2 itu.

Aku putus asa.
Aku yakin aku akan binasa.
Aku tdk ppunya alasan lagi utk selamat dari siksa neraka.

Tiba-tiba, aku mendengar suara, "masihkah orang ini punya amal baik?"

"Masih", jawab suara lain. "Masih tersisa ini."

Aku pun penasaran, amal baik apa gerangan yang masih tersisa?
Aku berusaha melihatnya. Ternyata, itu HANYALAH  dua lembar roti isi manisan yg pernah kusedekahkan kpf wanita fakir dan anaknya.

Habis sudah harapanku...
Sekarang aku benar2 yakin akan binasa sejadi jadinya.

Bgmn mungkin dua lembar roti  ini menyelamatkanku, sedangkan dulu aku pernah bersedekah 100 dinar sekali sedekah (100 dinar = +/- 425 gram emas = Rp 250 juta), dan itu tdk berguna sedikit pun. Aku merasa benar2 tertipu habis2an.

Segera 2 lembar roti itu ditaruh di timbanganku. Tak kusangka, ternyata timbangan kebaikanku bergerak turun sedikit demi sedikit, dan terus bergerak turun sampai2 lbh berat sedikit dibandingkan timbangan kejelekanku.

Tak sampai di situ, tenyata msh ada lagi amal baikku. Yaitu berupa air mata wanita faqir itu yg mengalir saat aku berikan sedekah. Air mata tak terbendung yg mengalir kala terenyuh akan kebaikanku. Aku, yg kala itu lebih mementingkan dia dan anaknya dibanding klgku.

Sungguh tak terbayang, saat air mata itu ditaruh, ternyata timbangan baikku semakin turun dan terus memberat. Hingga akhirnya aku mendengar suatu suara berkata, "Orang ini selamat dari siksa neraka..!"

Masya Allah
(Shared by Cakpen 8/3/16)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar