Brexit vs Padang Masyar
Setiap peristiwa pasti ada hikmah, message ilaihiyah, iktibar dan multi tafsir yang beragam dari setiap pelaku.
Setiap peristiwa bisa saja dijadikan amsal, permisalan untuk suatu peristiwa yang berbeda dimensi, yang belum pernah ada yang mengalaminya, yang tergambar dalam imagi iman, keyakinan akan ajaran dari Kitabullah dan As Sunnah.
Sebuah komparasi menurut kaidah ilmiah memiliki persyaratan dan kriteria sehingga dua entitas yang dibandingkan memang bisa disandingkan 'apple to apple' dan comparable.
Membaca tulisan seorang teman yang secara implisit membandingkan antrian pemudik di Brexit dengan kebangkitan besar di padang Masyar kelak, subyektifitas saya sebagai pelaku mudik menjadi terusik.
Tidak bisa dibantah dan dipungkiri, kemacetan Pejagan, Brexit dan kota kelahirannya warung murah meriah mengenyangkan itu memang sungguh terlalu.
Apakah bagi pemudik semua itu dirasakan sebagai siksaan dan perjalanan menuju neraka?
Tidak!, bekal utama pemudik itu adalah 'is all about love'.
Serpihan rindu yang membuncah di dada untuk memeluk tubuh tua ibundanya, kangennya untuk mencium punggungan tangan keriput milik ayahnya, belum lagi senyuman ayah ibunya ketika mendengar :" Bapak dan ibu, kemarin mamanya anak2 membelikan batik sarimbit untuk baju kembaran bapak ibu".
Ada lagi, keponakan, cucu keponakan yang ekspresi wajahnya menjadi lucu dan ceria, ketika diberi uang saku yang tak seberapa.
Merasakan jabat erat tangannya sepupu, sebetis, paklik, uwak, teman bermain masa kecil.
Mencabut rumput, menukil lumut di pojok batu nisan ayah bundanya, berbagi sedekah atas nama almarhum dan almarhumah kepada peminta minta yang berjejer di pinggir pemakaman... semua itu adalah sebagian kecil dari 'dopping' dan multivitamin ruhiyah yang membuat pemudik menjadi 'dhugdhèng', kebal terhadap virus kemacetannya si Brexit Èbrèk Èwèk itu.
Mudik adalah perjalanan hati, output dari hati adalah kesabaran ketika diberi cobaan berupa kemacetan dan rasa syukur ketika diperjalankan untuk bertemu dengan orang2 terkasih yang dirindukan. Jadi terlalu jauh membayangkan pemudik saat terkena kemacetan kemudian membandingkan dengan keriuhan kelak di padang Masyar. Yang ada adalah bercanda dan mentertawakan diri sendiri dan tentu saja berdzikir yang bisa mengurai asam laktat penyebab keletihan.
Bagi pemudik seperti kami, lebih membutuhkan tausiyah ringan yang membuat hati adem dan nyaman, terkadang suara puitik Ebiet G Ade menyenandungkan rindu yang dititipkan untuk ayahnya dan Andaikan Kau Datang Kembalinya Koes Plus yang dilantunkan Ruth Sahanaya, lebih pas buat kami. Berorientasi akhirat dalam hidup ini memang perlu, tapi kita tidak boleh melupakan bagian kita di dunia bukan?
Perbedaan angle dalam menyikapi sebuah peristiwa akan memperkaya wawasan, menghargai perbedaan akan menguatkan ukhuwah, salam.
joko/susilo/berbagi kata/menjelang Tegal arah Jakarta/syawal masih di angka 4/1437h
Tidak ada komentar:
Posting Komentar