Minggu, 19 Juni 2016

DAGING ATAU YANG LAIN

REFLEKTIF #11

"JOKOWI DAN ILUSI DAGING SAPI"

@Mas Khudori.. Sebuah ulasan yang mencerahkan dan sepenuhnya saya sependapat perihal substansi tulisannya, untuk SOLUSI JANGKA PANJANG.. namun 11 catatan lepas berikut saya sampaikan semata untuk pengayaan perspektif atas tulisan dimaksud, sbb:

1. Tidaklah mudah dalam JANGKA PENDEK mengubah pola konsumsi daging sapi di masyarakat kita yang telah "DIDIKTE" selama puluhan tahun oleh orang tua, lingkungan sosial (rumah makan, acara kawinan, bukber, perhelatan adat dll) dan tradisi turun temurun, bahkan sejak semasa kita masih dalam kandungan bunda..

2. Kesulitan itu paling tidak berpangkal dari 3 sebab, yakni: 1. Pola dan menu makan sebagai sebuah kultur dan cita rasa kuliner (rendang, empal gentong, steak dll) dengan 'ingredients' daging sapi yang dipersepsi (secara salah) sebagai SUMBER UTAMA PROTEIN HEWANI TERBAIK; 2. Relatif sangat rendahnya kesadaran publik perihal pentingnya mengkonsumsi makanan RENDAH KALORI DAN TINGGI NUTRISI (di kebanyakan masyarakat kita, pola ini berlaku terbalik); 3. Dari sudut pandang NUTRIGENOMICS (cabang keilmuan yang memadukan antara nutrisi dan DNA), dapat saya tambahkan alasan ke-3 yakni, ketidakpahaman masyarakat akan bahaya "daging merah" bila dikonsumsi berlebih dan relasinya dengan sejumlah "DEGENERATIVE DESEASES" semisal penyumbatan pembuluh darah koroner dan pembuluh darah otak, tekanan darah tinggi, penumpukan plaque di arteri, gagal jantung, stroke, gagal ginjal, kanker, diabetes (tipe-II), inflamasi kronis, overweight dan obesitas..

2. Pasar OLIGOPOLI dan praktek KARTEL dalam sejumlah komoditas pertanian sejak lama merupakan masalah kronis --untuk tidak disebut-- akut di republik ini.. terakhir kasus PERDAGANGAN KUOTA IMPORT DAGING SAPI - PKS ("kasus petinggi parpol memperdagangkan pengaruh dan ijin kuota impor daging sapi"; presiden PKS-LHI dan Mr. F) belumlah sangat sempurna pupus dari memori kolektif kita semasa Mentan dipimpin oleh (kebetulan, rekan sekelas saat menempuh kuliah di IPB saat itu) Menteri SUSWONO, dari PKS..

3. Terlalu banyaknya kelompok "free rider" di republik ini yang melahirkan para pemburu rente (rent seeker) berkelas 'trader' yang berperan tidak lebih sebagai predator.., sesama anak bangsa tanpa 'business ethic' sedikitpun.. tak mengherankan sejak republik ini merdeka, nilai tukar ("terms of trade") komoditas pertanian sangatlah rendah adanya dan tak pernah membaik secara signifikan.. walau "POLITIK BERAS" semasa rezim ORBA dan pemberlakuan "engineered serta administered price" vis a vis peran BULOG, sampai pada level tertentu juga memiliki kontribusi..

4. Bukan hanya harga daging sapi di Indonesia yang seringkali  TERTINGGI DI DUNIA.. pun sejumlah komoditas pertanian lainnya semisal kedelei, bawang merah, dan bahkan tepung terigu pernah memasuki era MONOPOLI oleh pemain tunggal BOGASARI semasa rezim Soeharto berkuasa..

5. Ketiadaan bursa komoditas (Jakarta Futures Exchange) yang likuid dan memiliki kedalaman pasar memadai (market deepening) tentu takkan mampu melahirkan 'harga pasar' yang bersifat "informationally eficient" sebagai prasyarat bagi lahirnya  PASAR PERSAINGAN SEMPURNA, dimana kita dapat berharap harga pasar daging sapi terbentuk semata dan terutama karena kekuatan supply & demand.. dan pelaku pasar hanyalah berperan sebagai "PRICE TAKER" dan bukannya bertindak sebagai "PRICE SETTER".. kehadiran bursa komoditas yang sehat akan melahirkan TRANSPARANSI HARGA dan justru inilah yang tidak dikehendaki oleh para pemburu rente (baca: trader, importir pemasok, sejumlah asosiasi, mafioso daging dll)..

6. Relatif mandulnya peran DEPTAN dan DEPERDAG berhadapan dengan para MAFIOSO DAGING SAPI.. adalah juga satu 'determinant factor' penting.. apatah lagi, perihal koordinasi yang sehat diantara kedua departemen tersebut dalam penetapan ijin kuota import daging sapi.. diakui atau tidak, derajat 'koordinasi' diantara departemen dan lembaga pemerintah dan negara di republik ini masihlah tergolong "LUXURY GOODS".. sebagaimana dikatakan Milton Friedman, an American Economist, --pemenang hadiah Nobel dibidang ekonomi tahun 1976-- (July 31, 1912 - November 16, 2006), "There's no such things as a free lunch".. sebuah izin dan besaran kuota import tentusaja tak terbebas dari formula acuan yang berbanding lurus dengan 'BESARNYA BIAYA MAKAN SIANG, YANG TENTU TIDAK GRATIS'..

7. Seyogianya NEGARA dalam mengakselerasi terwujudnya sila kelima Pancasila, membebaskan kementrian vital dari pengaruh dan kepentingan sempit parpol, politisi dan politikus.. Zaken Kabinet sebagaimana dijanjikan presiden JKW & JK saat mengusung Nawacita sebelum terpilih memimpin negri ini sesungguhnya menjanjikan CHANGE yang MEANINGFUL bagi kelahiran INDONESIA BARU.. namun apa lacur, sepinggan bubur ayam tak mungkin diubah kembali menjadi semangkok beras..

8. Melambungnya harga daging sapi akhir2 ini telah mendistorsi "mekanisme pasar" yang sehat dan tentusaja akan menghambat keinginan Bank Indonesia untuk menekan serendah-rendahnya tingkat 'core inflation' sebagai prasyarat mutlak untuk 'memenuhi keinginan pemerintah' dalam menekan tingkat suku bunga kredit efektif kearah single digit (dibawah 10%).. dan ironinya, kejadian ini adalah 'pola berulang sejak lama'.. bangsa ini, jangan-jangan bukanlah sang pembelajar yang baik!

9. Singkatnya, dalam kasus tingginya harga daging sapi dewasa ini, telah nyata2 terjadi apa yang dikenal dalam konsep KEYNSIAN sebagai KEGAGALAN PASAR (market flaws) dan dalam kondisi demikian adalah hal yang sepenuhnya dapat dibenarkan bila pemerintah c.q. kelembagaan Presiden memberikan himbauan moral (moral suasion) kepada semua pihak untuk segera menurunkan harga daging sapi ke level harga tertentu yang lebih reasonable..

10. Seyogianya, setiap NEGATIVE EXTERNALITIES baik pada level kebijakan, transmisi kebijakan, rantai pasok, implementasi dan eksekusi kebijakan terutama yang berkaitan dengan "hajat hidup orang banyak" dan singgungannya dengan para pelaku pasar (trader, importir pemasok, asosiasi, mafioso daging dll) mendapatkan "penginderaan" sewajarnya dan harus "dikawal" dengan baik oleh seluruh elemen bangsa.. dalam hal ini, tidak menutup kemungkinan HMI (atau bahkan KAHMI) dapat memainkan perannya secara cerdas!.. dengan demikian, akan sangat terasa peran dan kehadiran HMI selaku kumpulan insan akademis yang jelas pemihakannya dan sekaligus mampu meng-exercise kekuatannya selaku "PRESSURE GROUP", setidaknya di wilayah pertarungan "moral force".. Wallahu A'lam Bishawab!

11. Sebagai pemerhati dan praktisi NUTRIGENOMICS, pilihan bahan makanan semisal: daging ayam (tanpa kulit dan berutu), turkey, putih telur, tempeh, tofu, jamur, gandum, quinoa, kacang2an dan biji2an (lentil, almond, edamame, kedele dan susu kedele, red & black bean, kacang polong, kidney & pinto bean, biji bunga matahari, kecambah kacang hijau), ikan terutama salmon, mackerel dan tuna yang kaya akan nutrisi OMEGA-3 serta sayuran (brokoli, kembang kol, buncis, jagung, bayam, asparagus) dan buah2an (avocado, labu) adalah sumber protein hewani dan nabati yang lebih baik dibanding daging merah (sapi, kambing, domba, kuda dll) dan sejumlah produk turunannya (susu, keju, sausage dll).. terkadang ada persepsi salah juga di masyarakat kita bahwa misalnya harga ikan salmon dan mackerel sangatlah mahal! Dan tak terjangkau --even oleh daya beli kita--.. namun bila disikapi secara cerdas, sebenarnya tidaklah sepenuhnya benar..

Semoga ulasan yang saya sampaikan terutama di paragraph terakhir tidak sedikitpun mengurangi selera makan Anda.. maaf, maaf.. Bon App'etite!.. Salam.

Sofyan Rambey, pemerhati Nutrigenomics
Jakarta, June 19, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar